Rabu, 23 Oktober 2024

Masyarakat Tolak Aktivitas Tambang Dilaut Batu Beriga

 Masyarakat Tolak Aktivitas Tambang Dilaut Batu Beriga



        PT Timah berencana memulai aktivitas tambang laut di Desa Batu Beriga, Kecamatan Lubuk Besar, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, pada 14 Oktober 2024. Tambang ini akan menggunakan 65 Ponton Isap Produksi (PIP) yang dioperasikan oleh 13 perusahaan CV. PT. Timah menjelaskan bahwa rencana operasi produksi di Laut Beriga telah mendapatkan izin usaha jasa pertambangan (IUP) DU -1584 yang diterbitkan pada 8 April 2010, serta berdasarkan Perda No 3 Tahun 2020. Operasi penambangan PIP direncanakan dengan Life of Mine (LOM) selama tiga tahun, dan diperkirakan dapat menghasilkan sekitar 4.000 TonSn. Manajemen PT. Timah menyatakan bahwa setiap ponton akan diisi oleh lima orang pekerja, di mana setiap ponton akan melibatkan pekerja yang merupakan warga asli Beriga. Selain itu, dampak dari aktivitas penambangan akan dikelola dan diinformasikan secara transparan kepada masyarakat. PT. Timah juga melaporkan total realisasi program CSR di Batu Beriga untuk tahun 2023-2024 sebesar Rp906.500.000, serta rencana CSR ke depan yang akan fokus pada pengembangan budidaya rumput laut dan garam di wilayah Beriga.

       Namun, hingga saat ini, masih banyak masyarakat setempat yang menyatakan penolakan terhadap aktivitas tambang tersebut. Alasan warga desa Batu Beriga menolak penambangan laut karena laut merupakan tempat mata pencaharian masyarakat setempat, baik sebagai nelayan maupun sebagai pembeli hasil ikan, dan hasil yang diperoleh kemudian digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan biaya pendidikan.. Bagi mereka, laut adalah warisan leluhur yang harus dijaga dan dilestarikan agar nanti para keturunananya bisa merasakan laut di Batu Beriga. Jika ponton hisap produksi masuk dan menyebar di perairan Pantai Batu Beriga, maka kondisi lautnya akan menjadi berbeda dari sebelumnya dan lama kelamaan akan rusak.

       Menurut Berku, mayoritas masyarakat Batu Beriga menolak kehadiran pertambangan jenis apapun di laut mereka. Pasalnya, sebagian besar, bahkan 80 persen masyarakat Batu Beriga menggantungkan hidupnya dari hasil laut. "Akan tetapi, ada data katanya ada 750 KK yang setuju, cuma kami tidak tahu yang setuju itu yang mana," jelasnya. Padahal kata dia, jumlah masyarkat Desa Batu Beriga saat ini hanya sekitar 600-an lebih KK saja. "Enggak ada mereka (pihak CV) ketemu sama kami, cuma ada kabar 750 KK itu setuju, sedangkan se-Batu Beriga ini jumlah KK hanya 600-an lebih. Berarti itu kan datanya bisa jadi penipuan, karena kami tanya siapa nama-namanya, tapi enggak dikasih," ungkapnya.

      Warga juga mengaku menolak tambang timah di laut desa mereka sejak lama, meski PT Timah Tbk mengantongi izin. Salah satu warga, Jamil mengatakan masyarakat Batu Beriga yang disebutkan banyak setuju penambangan tersebut adalah bohong. "Memang ada masyarakat yang setuju tetapi sangat kecil, sebagian besar menolak tambang di laut Desa Batu Beriga," ujar Jamil. Warga lainnya menyebutkan, sesuai UU No 27 2007, pemerintah mengakui masyarakat adat dan wilayah pesisir. Sehingga, warga Desa Batu Beriga memiliki hak untuk mempertahankan laut di tempat mereka mencari nafkah.

        Menyikapi persoalan tersebut, Kapolres Bangka Tengah, AKBP Aditya Pradana Nugraha menyatakan, pihak kepolisian akan terus berupaya menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat agar tetap kondusif di tengah situasi ini. Dijelaskannya, kedudukan Polres Bangka Tengah dalam hal ini berperan memberikan pengamanan terhadap kegiatan pemerintah, masyarakat, lembaga (BUMN) dan lainnya. "Karena ini PT Timah secara perizinan lengkap, justru yang harus kita berantas adalah (tambang) ilegal, jangan kebalikannya," katanya, Jumat (11/10/2024). Dia menegaskan, jangan sampai aktivitas tambang timah ilegal didukung, sementara yang sudah berizin dan legal malah kebalikannya, atau ditolak. Justru dengan mendukung tambang timah legal banyak yang bisa didapatkan manfaatnya untuk masyarakat, seperti pemasukan daerah dan CSR sehingga perekonomian dapat terbantu.  

        PT Timah Tbk sendiri akan tetap melakukan pertambangan timah di Laut  Desa Batu Beriga, Kabupaten Bangka Tengah. Aktivitas tambang itu dilakukan di tengah arus penolakan warga Desa Batu Beriga. Warga menginginkan laut tempat nelayan mencari nafkah tetap lestari. General Manager Operasi dan Produksi PT Timah Tbk Rian Andri memastikan penambangan akan dilakukan karena perusahaan sudah mengantongi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Pihaknya telah memiliki rekomendasi Amdal untuk melakukan aktivitas pertambangan di Laut Batu Beriga. "Untuk Amdal laut kita ada karena sampai sekarang kita masih menambang, ada kapal keruk maupun kapal isap," tuturnya.

       Menyikapi isu yang beredar, ketua sementara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Bangka Belitung, Didit Srigusjaya, menyoroti adanya aksi penolakan yang dilakukan warga Desa Batu Beriga, Kabupaten Bangka Tengah (Bateng) terkait rencana pertambangan oleh PT Timah, Senin (21/10/2024). Didit menyatakan, pihaknya telah membentuk Panitia Khusus (Pansus) Pembahasan Kawasan Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah. Pembentukan Pansus ini dilakukan untuk menghindari adanya benturan atau gesekan antara pihak perusahaan dengan masyarakat setempat yang menolak aktivitas tambang.

      Disisi lain, Plt. Bupati Bangka Tengah, Era Susanto, mengemukakan tiga poin penting, yaitu apa yang dapat diberikan oleh PT. Timah kepada masyarakat Batu Beriga, bahwa Pemerintah Bangka Tengah tidak memiliki kewenangan untuk melarang aktivitas PT. Timah di Beriga, serta harapannya agar tidak terjadi konflik. “PT. Timah seharusnya menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat yang menolak dan mempertimbangkan apa yang dapat ditawarkan kepada warga Desa Beriga,” tuturnya. Ia menegaskan bahwa Pemkab tidak memiliki hak untuk melarang, karena urusan pertambangan merupakan kewenangan provinsi dan pusat. Kita tidak memiliki Dinas Pertambangan, sehingga kami hanya dapat mengikuti perkembangan yang ada dan tidak memiliki wewenang untuk melarang. Kami berupaya menawarkan kerja sama strategis kepada masyarakat. Selain itu, saya berharap agar tidak terjadi konflik, yang merupakan harapan kita semua, baik dari pemerintah daerah maupun aparat dan pihak lainnya, karena yang berhadapan langsung dengan kita adalah masyarakat, jelasnya. Jika tawaran dari PT. Timah menarik, masyarakat pasti akan setuju, namun jika tawarannya tidak memadai, maka masalah ini tidak akan pernah teratasi, tambahnya.




Senin, 01 April 2024

Kasus Korupsi Komoditas Timah di Provinsi Bangka Belitung Berdampak pada Perekonomian Masyarakat

Kasus Korupsi Komoditas Timah di Provinsi Bangka Belitung Berdampak pada Perekonomian Masyarakat



    Baru-baru ini, Bangka Belitung di hebohkan dengan berita dugaan korupsi komoditas timah. Terjadinya dugaan kasus korupsi tata niaga timah di Provinsi Bangka Belitung terutama di Bangka Tengah ini telah di usut oleh Kejaksaan agung. Upaya Kejaksaan Agung mengusut skandal korupsi tata niaga komoditas timah di Bangka Belitung seharusnya tak berhenti pada keterlibatan bekas anggota direksi PT Timah Tbk dan sejumlah pengusaha, seperti Tamron Tamsil. Penanganan perkara ini mesti membongkar beking penikmat hasil tambang ilegal yang menimbulkan kerugian lingkungan bernilai Rp 271 triliun itu. Dugaan adanya orang berpengaruh dalam kasus ini muncul setelah Kejaksaan menangkap Suparta dan Reza Andriansyah, keduanya anggota direksi PT Refined Bangka Tin (RBT). Berdasarkan alat bukti yang diperoleh, penyidik meyakini Suparta dan Reza aktif menginisiasi rapat dengan pihak PT Timah agar mau menampung bijih timah dari sejumlah perusahaan yang menambang secara ilegal di wilayah PT Timah. PT RBT disebut berkaitan dengan Robert Priantono Bonosusatya, pengusaha timah yang dekat dengan banyak pejabat kepolisian.

   Kecurigaan bahwa pebisnis ini membekingi penambangan liar tergambar dari informasi Ketua Dewan Perwakilan Daerah AA La Nyalla Mahmud Mattalitti. Menelusuri sengkarut perdagangan timah di Bangka Belitung pada 2019, ia menerima laporan dari 27 pemilik smelter yang operasinya dihentikan oleh kepolisian karena aktivitas mereka dianggap ilegal. Para pengusaha smelter itu sebelumnya dilaporkan ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI. Puluhan perusahaan itu lantas diminta menjual mineral mentah ke PT Timah. Anehnya, PT Timah justru menunjuk lima smelter menjadi mitra, termasuk PT RBT. Pertalian antara aparat dan pengusaha beking tambang ilegal tak sekadar menguntungkan mereka secara finansial. Institusi penegak hukum bahkan memberikan "perlindungan" bagi pihak yang seharusnya diproses hukum. Dalam perkara tambang timah ilegal di Bangka Belitung, pengusaha kuat yang diduga terlibat belum tersentuh proses hukum.

    Kejaksaan Agung memang sudah menetapkan 14 tersangka dalam penanganan perkara korupsi tata niaga timah di Bangka Belitung ini. Meski begitu, Kejaksaan Agung harus berani menyeret pebisnis tambang berpengaruh yang selama ini menyokong serta meraup untung dari aktivitas tambang ilegal, bukan sekadar menjerat tersangka di level manajemen dan pengusaha yang korporasinya cuma dijadikan boneka. Penangkapan Suparta dan Reza serta belasan tersangka lain semestinya menjadi pintu masuk untuk mengungkap peran dan keterlibatan para beking. Dugaan kongkalikong antara pebisnis dan berbagai pihak untuk melindungi aktivitas tambang ilegal harus diselisik, termasuk membuka kemungkinan adanya persekongkolan koruptif antara pengusaha dan aparat penegak hukum. Kalau memang ditemukan bukti yang kuat, Kejaksaan Agung tak boleh gentar mengusut dan menyeret siapa pun yang terlibat perkara perizinan tambang timah ini.

    Praktik beking yang dijalankan pengusaha berpengaruh dengan menggaet pejabat negara dan penegak hukum sudah lama menghambat terselenggaranya pemerintahan yang bersih. Dalam soal tambang ilegal, membiarkan beking tambang tak terjamah hukum merupakan awal kerusakan lingkungan lebih besar. Pengusaha serakah, bekerja sama dengan pejabat dan aparat korup, mengeksploitasi sumber daya alam secara ugal-ugalan.

   Bisa di lihat dari berita yang di usutkan oleh Kejaksaan Agung di atas, bahwa korupsi tambang ilegal ini menimbulkan kerugian lingkungan bernilai Rp 271 triliun dan hal tersebut berdampak pada perekonomian masyarakat terutama masyarakat Kabupaten Bangka Tengah (Bateng).   Pasalnya, komoditas timah masih menjadi salah satu tumpuan perekonomian masyarakat. Masyarakat yang bekerja secara langsung maupun tidak langsung terhadap aktivitas penambangan timah harus merasakan dampak, salah satunya kesulitan menjual bijih timah. Bupati Bangka Tengah, Algafry Rahman saat diwawancarai wartabangka.id mengatakan, kasus tata niaga timah yang saat ini sedang diusut Korps Adhyaksa memang cukup mempengaruhi perekonomian warga. “Kami Pemkab Bangka Tengah sejujurnya mengakui saat ini kondisi masyarakat memang perlu perhatian kita bersama. Setidak-tidaknya kasus penyelidikan tata niaga timah ini memang ada pengaruhnya secara langsung terhadap perekonomian masyarakat, karena salah satu tumpuan masyarakat ini adalah timah,” kata Algafry, Kamis (1/2/2024).

   Algafry mengungkapkan, pihaknya saat ini sudah melakukan beberapa upaya, guna meringankan beban masyarakat. “Tetapi, beberapa upaya sudah kita lakukan, diantaranya kita sudah menyampaikan kepada 3 OPD untuk segera melakukan kegiatan yang sifatnya membantu masyarakat, seperti Disperindagkop Bangka Tengah, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Bangka Tengah, kemudian Dinas Sosial-PMD Bangka Tengah,” ungkapnya. Ia menjelaskan, ketiga OPD tersebut sudah diminta untuk merealisasikan bantuan atau program yang bisa memberikan dukungan kepada masyarakat, agar bisa meningkatkan perekonomian warga.   “Jadi, ada beberapa yang sudah kita lakukan, diantaranya memberikan distribusi beras 10 kg kepada 6.801 masyarakat Bateng dari dari program CBP. Kemudian, dinsos juga berupaya melalui kegiatan sosial, dan dari disperindagkop juga ada giat pasar murah, semoga ini bisa membantu warga,” tutupnya